Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pola Kelekatan

Hubungan anak dengan orang tua merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan sosial. Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe, 2002). Klaus dan Kennel (dalam Bee, 1981) menyatakan bahwa masa kritis seorang bayi adalah 12 jam pertama setelah dilahirkan. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kontak yang dilakukan ibu pada satu jam pertama setelah melahirkan selama 30 menit akan memberikan pengalaman mendasar pada anak. Hal senada juga dikemukakan oleh Sosa (dalam Hadiyanti, 1992) bahwa ibu yang segera didekatkan pada bayi seusai melahirkan akan menunjukkan perhatian 50% lebih besar dibandingkan ibu-ibu yang tidak melakukannya. 

Menurut Ainsworth (dalam Belsky, 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak. Kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002). Kelekatan bukanlah ikatan yang terjadi secara alamiah. Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk kelekatan tersebut. 

Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan (Bowlby dalam Pramana, 1996). Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu juga pada lingkungan. Hal ini akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak (Both dkk dalam Parker, Rubin, Price dan DeRosier, 1995) serta lebih populer dikalangan teman sebayanya di prasekolah (La Freniere dan Sroufe dalam Parker dkk, 1995). Anak-anak ini juga lebih mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi (Parke dan Waters dalam Parker dkk, 1995). Sementara itu Grosman dan Grosman (dalam Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kulitas kelekatan aman lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa.

Sebaliknya pengasuh yang tidak menyenangkan akan membuat anak tidak percaya dan mengembangkan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment). Kelekatan yang tidak aman dapat membuat anak mengalami berbagai permasalahan yang disebut dengan gangguan kelekatan (attachment disorder). Telah disebutkan di atas bahwa gangguan kelekatan terjadi karena anak gagal membentuk kelekatan yang aman dengan figur lekatnya. Hal ini akan membuat anak mengalami masalah dalam hubungan social. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan kelekatan memiliki orang tua yang juga mengalami masalah yang sama dimasa kecilnya (Sroufe dalam Cicchetty dan Linch, 1995). Hal ini menjadi sebuah lingkaran yang tidak akan terputus bila tidak dilakukan perubahan. 

Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertamakalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang Bowlby (dalam Haditono dkk, 1994) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth (dalam Hetherington dan Parke, 2001) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut ( Durkin, 1995). Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figure lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Adiyanti, 1985).

Menurut Maccoby (dalam Ervika, 2000) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain:

  1. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang
  2. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat
  3. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali
  4. Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya.

Teori Tentang Kelekatan

Penjelasan mengenai kelekatan dapat dipandang dari berbagai sudut pandang atau kerangka berpikir. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan kelekatan, antara lain : 

Teori Psikoanalisa

Berdasarkan teori psikoanalisa Freud (Durkin 1995, Hetherington dan Parke, 1999), manusia berkembang melewati beberapa fase yang dikenal dengan fase-fase psikoseksual. Salah satu fasenya adalah fase oral, pada fase ini sumber pengalaman anak dipusatkan pada pengalaman oral yang juga berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Secara natural bayi mendapatkan kenikmatan tersebut dari ibu disaat bayi menghisap susu dari payudara atau mendapatkan stimulasi oral dari ibu. Proses ini menjadi sarana penyimpanan energi libido bayi dan ibu selanjutnya menjadi objek cinta pertama seorang bayi. Kelekatan bayi dimulai dengan kelekatan pada payudara ibu dan dilanjutkannya dengan kelekatan pada ibu. Penekanannya disini ditujukan pada kebutuhan dan perasaan yang difokuskan pada interaksi ibu dan anak.

Selanjutnya Erickson (Durkin, 1995) berusaha menjelaskannya melalui fase terbentuknya kepercayaan dasar (basic trust). Ibu dalam hal ini digambarkan sebagai figur sentral yang dapat membantu bayi mencapai kepercayaan dasar tersebut. Hal tersebut dikarenakan ibu berperan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan bayi, menjadi sumber bergantung pemenuhan kebutuhan nutrisi serta sumber kenyamanan. Pengalaman oral dianggap Erickson sebagai prototip proses memberi dan menerima (giving and taking).

Teori Belajar

Kelekatan antara ibu dan anak dimulai saat ibu menyusui bayi sebagai proses pengurangan rasa lapar yang menjadi dorongan dasar. Susu yang diberikan ibu menjadi primary reinforcer dan ibu menjadi secondary reinforcer . Kemampuan ibu untuk memenuhi kebutuhan dasar bayi menjadi dasar terbentuknya kelekatan. Teori ini juga beranggapan bahwa stimulasi yang diberikan ibu pada bayi, baik itu visual, auditori dan taktil dapat menjadi sumber pembentukan kelekatan (Gewirtz dalam Hetherington dan Parke, 1999).

Teori Perkembangan Kognitif

Kelekatan baru dapat terbentuk apabila bayi sudah mampu membedakan antara  ibunya dengan orang asing serta dapat memahami bahwa seseorang itu tetap ada walaupun tidak dapat dilihat oleh anak. hal ini merupakan cerminan konsep permanensi objek yang dikemukakan Piaget (Hetherington dan Parke,  1999). Saat anak bertambah besar, kedekatan secara fisik menjadi tidak terlalu berarti. Anak mulai dapat memelihara kontak psikologis dengan menggunakan senyuman, pandangan serta kata-kata. Anak
mulai dapat memahami bahwa perpisahannya dengan ibu bersifat sementara. Anak tidak merasa telalu sedih dengan perpisahan. Orang tua dapat mengurangi situasi distress saat perpisahan dengan memberikan penjelasan pada anak.

Teori Etologi

Bowlby (Hetherington dan Parke, 1999) dipengaruhi oleh teori evolusi dalam observasinya pada perilaku hewan. Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku. Bowlby (Hetherington dan Parke, 1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment). Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley dalam Hadiyanti, 1992). 

Ada dua macam figur lekat, yaitu figur lekat utama dan figur lekat pengganti. Menurut Bowlby (dalam Durkin, 1995) individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik cenderung dipilih sebagai figur lekat pengganti. Adapun individu yang kadang-kadang memberikan perawatan fisik namun tidak bersifat responsif tidak akan dipilih menjadi figur lekat. Adapun kondisi yang dapat menimbulkan kelekatan pada anak pada seseorang dapat diuraikan sebagai berikut :

Pengasuh Anak

Termasuk pada siapa dan bagaimana pengasuhan dilakukan. Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan (Pikunas dalam Ervika, 2000).

Komposisi Keluarga

Anak mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari orang-orang yang ada dalam keluarga sebagai figur lekatnya. Figur lekat yang dipilih anak biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi persyaratan pada butir a di atas. Ibu biasanya menduduki peringkat pertama figur lekat utama anak.

Hal ini dapat dipahami karena ibu biasanya lebih banyak berinteraksi dengan anak dan berfungsi sebagai orang yang memenuhi kebutuhannya serta memberikan rasa nyaman, namun dalam hal ini kuantitas waktu bukanlah faktor utama terjadinya kelekatan. Kualitas hubungan menjadi hal yang lebih dipentingkan. Kualitas hubungan ibu dan anak jauh lebih penting daripada lamanya mereka berinteraksi karena dengan mengetahui lamanya anak berinteraksi belum tentu diketahui tentang apa yang dilakukan selama interaksi. Hal ini dibuktikan oleh Schaffer dan Emerson (dalam Hetherington dan Parke, 1999; Durkin, 1995) yang menemukan bahwa bayi memilih ayah dan orang dewasa lainnya sebagai figur lekat, padahal bayi menghabiskan waktu lebih banyak bersama ibu. Bayi-bayi ini memiliki ibu yang tidak responsif dan cenderung mengabaikan padahal ibu yang memberikan perawatan rutin pada bayi. Hal ini disebabkan karena ayah-ayah jaman sekarang cenderung mau terlibat dalam pemeliharaan anak. Masalahnya adalah sulit menilai kualitas kelekatan tersebut karena para ayah biasanya sulit diajak bekerjasama dalam penelitian akibat keterbatasan waktu yang mereka miliki (Shaffer dan Emerson
dalam Durkin, 1995).

Menurut Bowlby (dalam Adiyanti, 1985) perkembangan kelekatan terhadap figur tertentu merupakan hasil proses yang bekerja dalam diri anak, yaitu:
  1. Kecenderungan anak untuk melakukan orientasi, melihat dan mendengarkan suatu kelompok stimuli tertentu dan sejumlah stimuli yang lain. Hal ini memungkinkan bayi yang masih sangat muda menaruh perhatian khusus pada orang yang merawatnya (sebagai suatu stimuli).
  2. Kegiatan belajar memungkinkan bayi belajar tentang atribut persepsual dari orang yang memberikan perhatian kepadanya dan membedakan orang tersebut dari orang-orang disekitarnya.
  3. Bayi mempunyai kecenderungan untuk mendekati orang yang sudah dikenalnya dan telah dibedakan dari orang lain.

Perkembangan Kelekatan

Menurut Bowlby (dalam Scarr, Weiberg dan Levin, 1986) perkembangan kelekatan dibagi menjadi empat fase, yaitu:

Indiscriminate Sociability

Terjadi pada anak yang berusia dibawah dua bulan. Bayi menggunakan tangisan untuk menarik perhatian orang dewasa, menghisap dan menggenggam, tersenyum dan berceloteh digunakan untu menarik perhatian orang dewasa agar mendekat padanya.

Discriminate Sociability

Terjadi pada anak yang berusia dua hingga tujuh bulan. Pada fase ini bayi mulai dapat membedakan objek lekatnya, mengingat orang yang memberikan perhatian dan menunjukkan pilihannya pada orang tersebut.

Spesific attachment

Terjadi pada anak yang berusia tujuh bulan hingga dua tahun. Bayi mulai menunjukkan kelekatannya pada figur tertentu. Fase ini merupakan fase munculnya intensional behavior dan independent locomosi yang bersifat permanen. Anak untuk pertama kalinya menyatakan protes ketika figur lekat pergi. Anak sudah tahu orang-orang yang diinginkan dan memilih orang-orang yang sudah dikenal. Mereka mulaimendekatkan diri pada objek lekat. Anak mulai menggunakan kemampuan motorik untuk mempengaruhi orang lain.

 Partnership

Terjadi pada usia dua sampai empat tahun . Fase ini sama dengan fase egosentris yang dikemukakan Piaget. Memasuki usia dua tahun anak mulai mengerti bahwa orang lain memiliki perbedaan keinginan dan kebutuhan yang mulai diperhitungkannya. Kemampuan berbahasa membantu anak bernegosiasi dengan ibu atau objek lekatnya. Kelekatan membuat anak jadi lebih matang dalam hubungan sosial. Bowlby menamakannya goal corrected partnerships, hal ini membuat anak lebih mampu berhubungan dengan peer dan orang yang tidak dikenal.  

Variasi Kelekatan (Kualitas Kelekatan)

Eksperimen untuk melihat tingkah laku lekat dilakukan oleh Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (dalam Fraley dan Spieker, 2003; Cummings, 2003, Sroufe, 2003; Cassidy, 2003; Waters dan Beauchaine, 2003). Ainsworth menggunakan metode eksperimen dengan situasi asing (the strange situation). Anak ditempatkan dalam ruangan yang dirancang dengan lingkungan fisik yang tidak familier, adanya perpisahan dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing. Kombinasi dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk melihat reaksi anak. Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh tiga respon, yaitu:

Insecurely Attached Avoidant infant (Type A )

Ditemukan pada 20% sample penelitian. Anak menolak kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, kurang memiliki resiliensi ego dan kurang mampu mengekspresikan emosi negatif (Cicchetti dan Toth,  1995). Selain itu anak juga tampak mengacuhkan dan kurang tertarik dengan kehadiran ibu (Dishion, French dan Patterson, 1995).

Securely Attached Infant(Type B)

Ditemukan pada 70% subjek penelitian. Ibu digunakan sebagai dasar eksplorasi. Anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang asing, tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya (Cicchetti dan Toth, 1995) Anak merasa terganggu ketika ibu pergi dan menunjukkan kebahagiaan ketika ibu kembali.

Insecurely Attached Resinstant Infant (Type C)

Ditemukan pada10% subjek penelitian. Menunjukkan keengganan untuk mengeksplorasi lingkungan. Tampak impulsive, helpless dan korang kontrol (Cicchetti dan Toth, 1995). Beberapa tampak selalu menempel pada ibu dan bersembunyi dari orang asing. Anak tampak sedih ketika ditinggal ibu dan sulit untuk tenang kembali meskipun ibu telah kembali. Mampu mengekspresikan emosi negatif namun dengan reaksi yang berlebihan.

Disorganized/ Disoriented Attached (Type D)

Ini merupakan tipe kempat yang dihasilkan dari pengembangan eksperimen yang dilakukan oleh Main, Hesse dan Solomon (dalam Dishion, Frech dan Patterson, 1995; Cummings, 2003). Ditemukan pada anak-anak yang mengalami salah pengasuhan (maltreated) dimana kekacauan emosi terlihat saat episode pertemuan kembali dengan ibu. Perilaku mereka tampak sangat tidak terorganisasi, mengalami konflik dalam dirinya serta menunjukkan kedekatan sekaligus penolakan. Adakalanya secara langsung
menunjukkan kekhawatiran dan penolakan yang lebih besar pada ibu dibandingkan dengan orang asing.

Berdasarkan variasi kelekatan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi kelompok kelekatan yang aman (secure attachment) yaitu Tipe B dan kelompok kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) yaitu Tipe A, Tipe C dan Tipe D. Ainsworth (dalam Ervika, 2000; Belsky, 1988) menemukan bahwa anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman mengalami masalah dalam hubungan dengan pengasuh atau figur lekat sebaliknya anak yang memiliki kelekatan aman memiliki pola hubungan dengan kualitas yang sangat baik. Anak dengan kelekatan insecure avoidant memiliki ibu yang tidak sensitif terhadap sinyal yang diberikan bayi dalam berbagai situasi pengasuhan dan situasi bermain. Sedangkan anak dengan kelekatan insecure resistant memiliki ibu yang tidak menyukai kontak fisik dengan anak dan memiliki ekspresi emosional yang kurang memadai atau kurang ekspresif, ibu juga menunjukan sikap yang tidak konsisten. Berbeda dengan anak yang memiliki pola kelekatan tidak aman, anak yang memiliki kelekatan aman (secure attached) memiliki ibu yang responsif pada kebutuhan dan sinyal-sinyal yang diberikan bayi dan mempunyai sikap yang konsisten. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak yang memiliki kualitas kelekatan yang paling baik adalah anak dengan kelekatan aman (Tipe B). 

Kelekatan Pada Orang Dewasa

Bentuk kelekatan pada orang dewasa termanifestasi dalam bentuk cinta dimana individu akan menjaga dan membangun kelekatan dengan mencintai seseorang, biasanya dalam bentuk pacaran atau pernikahan. Ada beberapa figur kelekatan saat masa dewasa yakni pasangan, anak, dan orang tua.

Suami atau istri yang menjalin intimasi atau kelekatan akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri sepanjang kehidupan pernikahannya, termasuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan kritis yang terjadi. Intimasi di awal-awal pernikahan dapat menjadi landasan yang kuat untuk menjalani kehidupan pernikahan selanjutnya. Intimasi yang dibawa sejak masa awal pernikahan memberikan kemampuan mendasar untuk dapat menghadapi tantangan selanjutnya. Jika pasangan berhasil melewati tahap pertama dengan baik, maka kemungkinan mereka akan melewati tahap berikutnya dengan mulus pula.

Hubungan Kelekatan Masa Bayi & Dewasa

  1. Kelekatan yang aman saat bayi memunkinkan individu merasa nyaman, santai, dan merasakan pengalaman seksual yang menyenangkan.
  2. Merasa aman dan tidak merasa cemas saat mengalami hubungan romantis saat dewasa.
  3. Kelekatan yang aman saat bayi memunkinkan individu menyeimbangkan diri dan pasangannya.
  4. Harga dan percaya diri semakin besar sehingga berkontribusi pada hubungan yang tahan lama.

Pustaka

Ervika, E. (2005). Kelekatan (attachment) pada anak. Jurnal Psikologi. Vol, 1, 1-5.

Olson, DH. John Defrain and Linda Skogrand. (2003). “Marriages and Families: Intimacy, Diversity, and Strengths,” Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.
 

Posting Komentar untuk "Pola Kelekatan"