Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dukun Beranak

Dukun beranak sejak zaman dahulu telah berjasa dalam membantu para wanita yang ingi melahirkan sehingga tidak mengherankan jika mereka dianggap sebagai sang penyelamat. Keberadaannya pun sangat terkenal di Nusantara. Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan bangsa Eropa yang menganggap mereka sebagai manusia pembawa bahaya dan tidak memberi manfaat. Mereka di angkat ikut serta terhadap meningkatnya angka kematian bayi, sampai-sampai H.W. Daendels menggagas suatu program untuk memberi pencerahan bagi para dukun beranak.

Dukun beranak yang telah ada jauh sebelum kehadiran Bidan merupakan orang terpenting untuk membantu persalinan para wanita Nusantara. Hingga menimbulkan kepercayaan dan turun ke generasi berikutnya. Hal ini juga terus berlanjut sampai pada masa penjajahan bangsa Belanda. Dukun beranak sangat disukai karena adanya kepercayaan bahwa mereka itu sakti serta mematok harga yang tergolong murah atas jasa mereka.

Jejak dari dukun beranak di nusantara dapat dilihat di berbagai daerah salah satunya dari Banda Aceh. Di aceh, profesi ini banyak dikerjakan kaum wanita. Dimana biasanya wanita tersebut sudah pernah melahirkan dan dipercayai memiliki kesaktian tertentu terutama memiliki hubungan dengan roh leluhur yang disebut sebagai Nek atau Nek Rabi.


Nek Rabi sendiri merupakan roh seorang wanita yang dulunya tinggal di Banda Aceh. Ketika dia kembali dari pengajian di suatu malam, ada seseorang yang memenggal kepalanya karena dianggap melakukan pencurian. Si pembunuh kemudian membawa kepala Nek Rabi ke sebuah tempat yang bernama Indrapuri, kemudian menguburnya ditempat tersebut. Tubuhnya sendiri di kubur di Banda Aceh. Nek Rabi yang secara pribadi dikenal sebagai orang yang baik, sehingga rohnya dianggap seringkali membantu para dukun beranak dalam membantu mereka melakukan proses persalinan.

“Karena Nek Rabi mati sebelum saat yang ditentukan maka dia berkelana dan selalu meminta sesuatu pada wanita yang sedang melahirkan. Tetapi Nek Rabi hanya muncul jika ada yang tidak wajar dilakukan pada upacara-upacara sebelum kelahiran khususnya pada kenduri bulan ketujuh. Pada peristiwa begitu dia ‘'memasuki’ jiwa dukun beranak, yang lalu berbicara dengan suara roh Nek Rabi dan dukun itu tidak mampu lagi melanjutkan bantuannya dalam persalinan itu,” ungkap Antropolog T. O. Ihromi dalam Pokok-Pokok Antropologi Budaya (1999).

Pengaruh yang bisa dikatakan cukup besar dari dukun beranak juga datang dari masyarakat Bugis, Sulawesi, sejak masa lampau. Feby Triadi, yang merupakan seorang Budayawan mengatakan bahwa Dukun atau Sanro Beranak atau juga dikenal sebagai Sanro Makkiana terbatas hanya pada mereka yang memiliki garis keturunan saja. Sehingga peran sanro makkiana menjadi sangat terkenal di kalangan masyarakat bugis.

Selain itu, rumor mengenai kehebatan mereka juga tersebar dari mulut ke mulut sehingga masyarakat dapat menerima dan mengakui kemampuan dari sanro makkiana ini. Mereka dikatakan mempunyai kemampuan semisal mantra maupun maupun benda-benda tertentu. Karena hal tersebut, masyarakat akhirnya percaya bahwa sanro makkiana dapat dan mampu mendatangkan kekuatan tertentu, terutama untuk menolong wanita Bugis yang akan melahirkan.

Feby Triadi juga mengatakan “Termasuk jika dulu setelah Islam menguat, ada perilaku-perilaku istimewa yang dilakukan si sanro ini, termasuk melaksanakan sholat sebelum dan sesudah menolong orang yang melahirkan. Atau hanya memberikan bacaan-bacaan tertentu di air yang nantinya akan diberikan bagi orang yang akan beranak, berkat hal itu (mereka dipercaya) mampu melancarkan si ibu hamil untuk melahirkan”.


Kendati terkenalnya dukun beranak ini, pemerintah Kolonial Belanda dan dokter dari Eropa memiliki anggapan yang buruk pada profesi mereka. Hal ini disebabkan karena kebanyakan dari duku beranak memiliki pengetahuan yang minim terkait proses alami ketika bayi dilahirkan. Terlebih lagi, mereka digambarkan tidak sepenuhnya pahan terhadap kondisi yang bisa saja menyimpang saat membantu proses bersalin. Hasilnya tentu saja akan berdampak pada tingkat kematian ibu dan bayi yang tinggi.

Pemerintah kolonial kemudian membuat sebuah solusi dengan memberi pelatihan pada mereka. Tetapi upaya dan usaha mereka tidak sesuai harapan. Banyak dari dukun beranak yang lebih memilih tetap dan kembali berpegang pada pengetahuan leluhur yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Situasi semacam ini, seperti yang terjadi di Minahasa, dimana angka kematian bayi tidak mengalami penurunan.

“Walaupun sejak tahun 1854 dukun beranak yang disebut Biang di Minahasa telah diberikan kursus pendidikan ilmu kesehatan oleh Gubernemen, tetapi pada tahun 1885 tingkat kematian bayi dan kematian ibu yang melahirkan sangat tinggi,” tulis Jessy Wenas dalam Sejarah dan kebudayaan Minahasa (2007).

Upaya pemerintah kolonial tidak sampai disini, atas rekomendasi dari Kepala Kesehatan pemerintah kolonial Belanda, Dr. W. Bosh, akhirnya didirikanlah sekolah kebidanan pertama yang bertempat di Batavia pada 1852. Namun, sekolah tersebut mengalami nasib yang sama dengan pelatihan yang diadakan sebelumnya, yakni juga berakhir dengan kegagalan. Penyebabnya tentu saja karena pamor dukun beranak yang jauh di atas profesi bidan. Seiring dengan hal tersebut, angka kematian bayi terus mengalami peningkatan, sekalipun bidan dan dukun beranak bersinergi dalam membantu proses persalinan.

“Bila dibandingkan dengan angka kematian akibat cacar, angka kematian ibu bersalin sebenarnya jauh lebih tinggi. Sayangnya. pemerintah Belanda kurang memperhatikan tingginya angka kematian itu. Baru tahun 1889 oleh Straats (ahli obstetri dari Austria) ilmu kebidanan diberikan dengan sukarela,” tutup Sudarwan Danim dkk dalam buku Kebidanan (2003).



Posting Komentar untuk "Dukun Beranak"