Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Belajar Edward Lee Thorndike

RISET HEWAN SEBELUM THORNDIKE

Descartes mengemukakan bahwa tubuh manusia dan hewan yang bukan manusia memiliki fungsi yang sesuai dengan prinsip mekanis yang akan membantu merangsang penyelidikan anatomi hewan bukan manusia. Kemudian, Menurut Darwin (1872) tentang The Ekspression of Emotions in Man and Animals pada umumnya dianggap sebagai teks pertama tentang psikologi komparatif, ia menganggap bahwa manusia dan bukan manusia serupa secara anatomis, emosional, dan kognitif. Kemudian ada George John Romanes (1848-1894) memublikasikan buku buku serupa yakni Animal Intelliegence (1882), Mental Evolution in Animals (1884) dan Mental Evolution in Man (1885). 

Margaret Floy Washburn (1871-1939), wanita pertama yang meraih gelar Ph.D bidang psikologi, membawa studi nonmanusia selangkah lebih dekat ke laboratorium. Buku Washburn, The Animal Mind, pertama kali terbit pada 1908, dan edisi barunya terbit secara reguler sampai 1936. Dalam teks ini, Washburn me-review dan mengkaji eksperimen indra, perseptual, dan belajar pada nonmanusia, dan mengambil kesimpulan tentang kesadaran berdasarkan hasil dari studi ini. Meskipun Washburn mengambil kesimpulan dari studi eksperimen, bukan dari observasi naturalistis, dia tidak mengidentifikasi, mengontrol, dan memanipulasi variabel-variabel penting yang terkait dengan belajar, tetapi E. L. Thorndike- lah yang melakukan langkah penting ini.

KONSEP TEORITIS UTAMA

Teori belajar dari Thorndike dikenal sebagai koneksionisme (Connectionism), karena belajar itu merupakan suatu proses pembentukan koneksi atau hubungan-hubungan antara Stimulus (S) dan Respon (R). Teori beliau juga sering di sebut dengan Trial and Error yang digunakan untuk menilai respon yang ada bagi stimulus tertentu. Teorinya ini didasarkan atas berbagai hasil penelitian termasuk eksperimen yang dia lakukan pada tahun 1890-an yang menggunakan hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.

wikipedia

Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.

Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di depan pintu. Pada awalnya kucing tersebut mengeong, mencakar dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama Instrumental Conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.

Dari eksperimen diatas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulus dan respon. Itulah mengapa teori koneksionisme ini disebut juga dengan S-R Bond Theory dan S-R Psychology of Learning. Selain itu, teori ini juga terkenal dengan “Trial and Error Learning”. Istilah ini merujuk pada waktu yang dibutuhkan atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila kita perhatikan secara seksama dalam eksperimen Thorndike tadi, akan kita dapati 2 hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar:

  1. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, maka kucing itu tidak akan berusaha untuk keluar, bahkan akan lebih memilih untuk tidur. Sehingga bisa disimpulkan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
  2. Kedua, tersedianya makanan di depan pintu puzzle box, merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut Law of Effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon, maka akan semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut.

Ciri-ciri belajar dengan Trial and error adalah :

  1. Ada motif pendorong aktivitas
  2. Ada berbagai respon terhadap situasi
  3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
  4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan

Thorndike menyimpulkan bahwa belajar itu bersifat incremental (inkremental/bertahap), bukan insightful (langsung ke pengertian). Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian yang mendalam. Thorndike (1898) juga menyimpulkan bahwa belajar itu bersifat langsung dan tidak dimediasi oleh pemikiran atau penalaran. Selain itu, thorndike juga menyatakan bahwa mamalia juga belajar melalui proses yang sama dengan manusia.

THORNDIKE SEBELUM 1930

Dari hasil percobaan yang dilakukan oleh Thorndike, muncul 3 hukum pokok dalam belajar, yaitu:

Hukum Kesiapan atau The Law of Readiness

Menjelaskan tentang kesiapan individu saat melakukan sesuatu. Kesiapan yang dimaksud disini adalah kecenderungan untuk bertindak sehingga proses belajar mencapai hasil yang memuaskan. Ada 3 keadaaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini:

  1. Bila pada organisme ada kesiapan untuk bertindak atau berperilaku, dan bila organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.
  2. Bila pada organisme ada kesiapan untuk bertindak atau berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan.
  3. Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.

Hukum Latihan atau Law of Exercise

Hukum ini mengandung dua hal:

  1. The Law Of Use, yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat bila sering digunakan. Dengan kata lain bahwa hubungan antara stimulus dan respon itu akan menjadi kuat semata-mata karena adanya latihan.
  2. The Law of Disuse, yaitu suatu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi lemah bila tidak ada latihan atau dihentikan.
  3. Hukum Akibat atau Law of Effect, berisikan dua hal:
  • Suatu tindakan/perbuatan yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan cenderung diulang, sebaliknya suatu tindakan (perbuatan) yang menghasilkan rasa tidak puas (tidak menyenangkan) akan cenderung tidak diulang lagi. Hal ini menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan bagi perbuatan itu sendiri. 
  • Dalam pendidikan, hukum ini diaplikasikan dalam bentuk hadiah dan hukuman. Hadiah menyebabkan orang cenderung ingin melakukan lagi perbuatan yang menghasilkan hadiah tadi, sebaliknya hukuman cenderung menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan, atau tidak mengulangi perbuatan.

KONSEP SEKUNDER

Thorndike juga mengemukakan adanya 5 hukum tambahan, yaitu :

  1. Law of Multiple Response, yaitu individu mencoba berbagai respon sebelum mendapat respon yang tepat.
  2. Law of Attitude, yaitu proses belajar dapat berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada individu.
  3. Law of Partial Activity, yaitu individu dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Individu dapat memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-hal yang pokok tersebut, dan meninggalkan hal-hal yang kecil.
  4. Law of Response by Analogy, yaitu individu cenderung mempunyai reaksi yang sama terhadap situasi baru, atau dengan kata lain individu bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya waktu yang lalu.
  5. Law of Assciative Shifting, yaitu sikap respon yang telah dimiliki individu dapat melekat stimulus baru.

THORNDIKE SETELAH 1930

Pada September 1929, Thorndike berpidato di International Congress of Psycholoy di New Haven, Connecticut, dan mengawali kata-katanya dengan “Saya salah.” dan merevisi beberapa pendapatnya.

Revisi Hukum Latihan/Penggunaan

Hukum ini kemudian di revisi karena penghentian repitisi atau pengulangan ternyata tidak melemahkan koneksi dalam jangka waktu yang panjang serta latihan praktis akan menghasilkan kemajuan kecil dan kurangnya latihan akan menyebabkan naiknya tingkat lupa.

Revisi Hukum Efek

Hukum ini juga mengalami revisi karena hanya separuh dari pernyataannya yang benar. Separuh dari yang benar itu adalah sebuah respons yang diikuti oleh keadaan yang memuaskan akan diperkuat. Sedangkan untuk separuh yang lainnya bahwa menghukum suatu respons ternyata tidak ada efeknya terhadap kekuatan koneksi. Revisi hukum efek menyatakan bahwa penguatan akan meningkatkan strength of connection (kekuatan koneksi), sedangkan hukuman tidak memberi pengaruh apaapa terhadap kekuatan koneksi.

Belongingness

Thorndike mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi ada faktor selain kontinguitas dan hukum efek. Jika elemen-elemen dari asosiasi dimiliki bersama, asosiasi di antara mereka akan dipelajari dan dipertahankan dengan lebih mudah ketimbang jika elemen itu bukan milik bersama.

Spread of Effect

Thorndike menambahkan konsep teoretis lainnya, yang disebutnya sebagai spread of effect (penyebaran efek). Selama eksperimennya, Thorndike secara tak sengaja menemukan bahwa keadaan yang memuaskan tidak hanya menambah probabilitas terulangnya respons yang menghasilkan keadaan yang memuaskan tersebut tetapi juga meningkatkan probabilitas terulangnya respons yang mengitari respons yang memperkuat itu.

Pendidikan Menurut Thorndike

Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari searah ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Menurutnya mengajar yang baik adalah tahu apa yang hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diberikan, respon apa yang akan diharapkan dan kapan harus memberi hadiah/ reward. Ada beberapa aturan yang di buat Thorndike berkenaan dengan pengajaran, yaitu:

  1. Perhatikan situasi murid.
  2. Perhatikan respon apa yang diharapkan dari respon tersebut.
  3. Ciptakan hubungan respon tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya.
  4. Situasi – situasi lain yang sama jangan diindahkan sekiranya dapat memutuskan hubungan tersebut.
  5. Bilahendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan – hubungan lain yang sejenis.
  6. Buat hubungan tersebut sedemikian rupa hingga dapat perbuatan nyata.
  7. Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari – hari.

Ilmu Pengetahuan & Nilai Manusia

Thorndike dikritik karena ia mengasumsikan determinisme dalam studi perilaku manusia. Para pengkritik mengatakan bahwa mereduksi perilaku manusia menjadi reaksi otomatis terhadap lingkungan akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Thorndike (1940) menjawab bahwa, sebaliknya, ilmu manusia ini menawarkan harapan yang paling besar untuk masa depan manusia.

EVALUASI TEORI THORNDIKE

Kontribusi

Thorndike memberi alternatif tersendiri untuk mengkonseptualisasikan belajar dan perilaku dan memberi pendekatan yang jauh berbeda dengan pendekatan yang ada sebelum dia. Sebelum studi Thorndike, tidak ada pembahasan eksperimental yang sistematis terhadap proses belajar. Dia bukan hanya menjelaskan dan mensintesiskan data yang tersedia; dia juga menemukan dan mengembangkan fenomena belajar trial-and- error dan transfer training, misalnya, yang akan mendefinisikan domain teori belajar untuk masa-masa berikutnya.

Beliau adalah orang pertama yang mengamati bahwa konsekuensi dari perilaku akan menghasilkan efek terhadap kekuatan perilaku. Salah satu peneliti yang pertama kali meneliti mengapa individu bisa lupa dengan hukum latihannya. Meneliti pengekangan perilaku lewat kajiannya terhadap hukuman. Orang pertama yang mempertanyakan asumsi umum tentang praktik pendidikan pada saat itu (disiplin formal). Membantu munculnya benih teori belajar kognitif kontemporer.

Kritik

Kritik terhadap Thorndike berfokus pada dua isu utama yakni definisi unsur pemuas dalam hukum efek serta definisi yang terlalu mekanistik atas teori belajar. Kritikan terhadap hukum efek menyatakan bahwa argumen Thorndike bersifat sirkular (berputar-putar). Jika probabilitas respons meningkat, itu dikatakan karena adanya keadaan yang memuaskan, jika tidak meningkat, itu dikatakan karena tidak ada unsur pemuas (satisfier). Penjelasan teori semacam itu dianggap tidak memungkinkan untuk diuji karena kejadian yang sama (peningkatan probabilitas respons) dipakai untuk mendeteksi baik itu proses belajar maupun keadaan yang memuaskan.

Kritik kedua terhadap hukum efek Thorndike terkait dengan cara hubungan S-R di perkuat atau diperlemah. Thorndike percaya bahwa belajar adalah fungsi otomatis dari keadaan yang memuaskan dan bukan dari mekanisme keadaan seperti pemikiran atau penalaran.

DAFTAR PUSTAKA

Olson, M.H., & Ramirez, J.J. (2020). An Introduction to Theories of Learning (10th ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003014447

Boeree, George. (2005). Sejarah Psikologi. Jakatra: Prima Shopie.

Muhibbin, S. (2003). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 53.

Nunzairina. (2009). Diktat Psikologi Pendidikan. Medan.

Sarwono, S. W. (2020). Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Soemanto, W. (2020). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Winarsih, V. (2009). Psikologi Pendidikan. Medan: Latansa Pers.

Posting Komentar untuk "Teori Belajar Edward Lee Thorndike"