Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bias Kognitif

Pengertian Bias Kognitif

Pengertian Cognitive bias atau bias kognitif adalah bias sistematis dalam pengambilan keputusan yang muncul dari cara orang memproses informasi. Karena masalah atau kejadian tertentu lebih mudah dipahami daripada yang lain, individu cenderung menggunakan kejadian ini sebagai tolok ukur untuk pengambilan keputusan. 

Pengertian bias kognitif secara sederhana adalah penyimpangan nalar.  Pengertian yang lebih kompleks adalah kesalahan dalam pemikiran, menilai, mengingat maupun proses kognitif lainnya yang sering timbul sebagai buah dari keteguhan akan pilihan atas preferensi/kesukaan serta keyakinan dengan mengesampingkan informasi yang bertentangan atau berbeda.  Para psikolog meneliti tentang bias kognitif ini kaitannya dengan daya ingat, pertimbangan dan pengambilan keputusan.

Meskipun bias kognitif ini sering dianggap sama dengan kesalahan logika (logical fallacy), keduanya merupakan hal yang berbeda. Logical fallacy hanyalah salah satu gejala dari bias kognitif.

Logical fallacy disebabkan oleh ketidakmampuan berpikir secara logis atau menyampaikan argumentasi yang logis, sedangkan bias kognitif disebabkan oleh pengaruh emosi, pengaruh motivasi, tekanan sosial, atau bahkan keterbatasan otak dalam memproses informasi.

Penyebab Bias Kognitif

Arti kata bias sendiri bisa kita terjemahkan ke “kecenderungan”. Ada banyak sekali, langsung saya berikan berbagai contohnya kecenderungan yang membuat kita mengambil keputusan.

Cenderung memperhatikan hal-hal yang sudah ada di memori atau yang sering terulang.

Orang cenderung percaya dengan informasi yang pertama kali diterimanya. Karena itu kita akan mempertanyakan informasi kedua dan ketiga ketika dia berbeda dari yang pertama, sebaliknya kita tidak kritis dengan informasi yang pertama.

Sebagai contoh, saat ada info seputar “bumi datar” kita mulai tertarik menggali informasi dan mengkritisi ini, padahal informasi tentang “bumi bulat” pun belum kita buktikan, tapi karena kita sudah lama mendengar hal yang pertama, akhirnya hal-hal baru akan menjadi aneh. Saat ada orang memulai gerakan baru, atau kita mau membuat sesuatu yang berbeda dari yang lain, suara negatif akan muncul untuk tidak mendukungnya, karena ini adalah informasi asing (berbeda dari yang sebelumnya).

Sudah terlanjur investasi

Mengambil contoh sebelumnya, saat isu bumi datar heboh, kita semangat mencari informasi ini, setelah seharian mengkonsumsinya akhirnya kita cenderung setuju dan mengambil keputusan BUMI ITU DATAR. Padahal kita belum pernah secara serius menggali apakah BUMI ITU BULAT seserius bumi datar. Tapi karena kita terlanjur berinvestasi ke salah satu informasi, kita ngga lagi mau menerima kalau informasi yang lainnya benar.

Di saat yang sama karena kita sudah punya suatu pendapat, kita akan menghindari mencari sisi negatif dari pendapat yang kita punya. Misalnya, saat kita setuju “bumi itu datar”, kita tidak akan mencari kelemahan atau kesalahan argumen tersebut, “google search” akan kita gunakan hanya akan mendukung pendapat sebelumnya.

Tidak mencari informasi lain, lebih mudah memperhatikan kesalahan orang lain daripada kesalahan kita sendiri.

Sedikit mirip dengan yang sebelumnya, bedanya ini versi yang lebih pasif. Orang tua baru akan merasa bayinya yang paling imut, dia akan membagikan hampir semua foto tingkah laku bayinnya. Karena kita tidak mencari informasi lain, melihat dari perspektif yang berbeda, kita hanya akan berpendapat pengetahuan kita yang benar. Kita merasa masalah kita yang paling besar. Kita merasa ide kita yang terbaik.

Cenderung percaya dan mengikuti pendapat mayoritas

Saat sebuah acara selesai dan memasuki sesi tanya jawab, jumlah orang yang tidak mengangkat tangan lebih banyak karena ada magnet, hampir semuanya tidak ada yang berani mulai mengangkat tangan. Berbeda saat pelan-pelan ada satu-dua orang yang berani akhirnya yang lain mulai ikut.

Kita akan dominan pada pendapat mayoritas. Apa yang orang lain, televisi, sosial media dan orang lain bilang akan kita anggap benar, tanpa mengkonfirmasi apakah ini benar-benar hal yang benar atau bukan.

Emosi sesaat

Kita sendiri pun tentu pernah juga menyesali keputusan yang diambil saat kita emosional. Bisa kita bayangkan, betapa membuat keputusan penting yang didasari emosi sesaat (marah, takut, terlalu senang) bisa menjadi salah satu kesalahan terbesar dalam karir dan kehidupan pribadi kita. Padahal bisa jadi kalau kita memberi waktu perasaannya hilang, kita bisa lebih rasional.

Ketidakmampuan kita untuk menempatkan diri kita sendiri dalam keadaan emosi, dengan demikian kita akhirnya membuat keputusan berdasarkan keadaan emosi kita saat ini. Di mana orang meremehkan pengaruh keadaan visceral (misalnya marah, kesakitan, atau lapar) pada perilaku atau preferensi mereka dan melebih-lebihkan pengaruh Intelektual Pengambilan Keputusan.

Dalam beberapa kasus, seseorang yang dalam emosi negatif seperti marah dan sedih cenderung mengambil keputusan dengan gegabah dan tidak berfikir dalam jangka panjang. Sebaliknya, pengambilan keputusan yang disertai oleh emosi positif seperti terlalu senang atau bahagia cenderung membuat janji yang sulit untuk ia lakukan. Hal ini dapat merugikan kita apabila membuat keputusan yang salah karena didasari oleh emosi.

Manusia cenderung mencari pola dan cerita tanpa melihat data

Saat kita melempar dadu sebanyak tiga kali dan selalu angka “3” yang muncul, kita akan percaya bahwa lemparan dadu ke-4 akan menghasilkan angka “3” lagi, padahal probabilitasnya sama sejak awal, selalu 1:6. Saat kita mengerjakan sesuatu beberapa kali berhasil, bagian berikutnya kita akan terlena dan tidak lagi berhati-hati karena akan merasa juga pasti berhasil.

Tergoda hasil instan

Memang hal yang wajar sih, manusia di zaman modern seperti sekarang lebih suka gaya hidup instan akibat sarana dan prasarana yang ada sudah sangat mendukung. Coba lihat, apa yang tersedia di layar kita. Dari layar ini, kita bisa melakukan segalanya, mulai dari memesan makanan, memanggil taksi, bersilaturahmi dengan teman, sampai bepergian secara virtual ke luar negeri. Semuanya ada di genggaman tangan kita saja.

Makan fast food atau tidak ya malam ini? Jika kita memilih berdasarkan hasil instan, maka kita akan mencari mana yang enak, padahal secara rasional, tentu saja makanan sehat yang harusnya kita pilih, tapi ini hanya akan terlihat di jangka panjang, saat itu ada “hawa nafsu” yang memuncak. Akhirnya kita mengambil keputusan yang salah.

Jenis-jenis Bias Kognitif

Ada lebih dari 50 cognitive bias yang telah ditemukan dalam beragam riset tentang cara manusia berpikir dan mengambil keputusan. Segelintir di antara yang banyak itu memiliki dampak yang luar biasa pada cara manusia membuat keputusan. Berikut beberapa contoh cognitive bias yang terkenal dan sering kita lakukan tanpa kita sadari.

Anchoring Bias (Efek Jangkar)

Juga dikenal sebagai jebakan relativitas, ini adalah kecenderungan di mana kita harus membandingkan dan mengontraskan hal-hal yang terbatas. Ini disebut efek jangkar (anchoring effect) karena kita cenderung terfokus pada sebuah nilai atau angka yang pada gilirannya akan dibandingkan dengan nilai-nilai dan angka-angka yang lain.

Biasanya seseorang akan memercayai suatu informasi yang pertama kali ia dapatkan melebihi informasi lainnya. Contoh gampangnya, ketika kita ingin membeli mobil/motor bekas. Pasti yang yang dilihat pertama kali adalah jumlah kilometer yang telah ditempuh (odometer). Padahal, jumlah odometer bukan parameter utama suatu mobil bekas bagus atau tidak. Tapi dilihat juga mesinnya, terawat atau tidak. 

Contoh lainnya, kita menyukai seorang pemimpin dari golongan partai A. Ketika ada seseorang memiliki pendapat yang berbeda, maka seketika kita tidak menyukai orang tersebut. Hal ini kemudian menyeret kita untuk berpikir tidak rasional, sebab kita akan mengabaikan semua informasi tidak menyenangkan yang berkaitan dengan pemimpin yang kita idolakan tersebut, dan bahkan menelan mentah-mentah semua hoaks yang membenarkan dirinya. Dalam kasus ini, saya sedang mengalami bias kognitif yang dikenal dengan efek jangkar atau anchoring effect.

Tidak perlu memandang lebih jauh dalam permasalahan pemimpin, saat kita berbelanja di mall, maka otak akan ‘membodohi’ kita untuk membeli pakaian yang sedang diobral dengan diskon 50%, tertulis dari harga semula Rp. 300.000 menjadi Rp. 150.000. Padahal harga normal pakaian tersebut hanyalah Rp. 100.000. Inilah kelemahan otak kita yang lebih bergantung pada informasi pertama yang diterima.

Barnum effect / Forer effect

Efek barnum atau Efek forer, juga disebut sebagai Efek barnum-forer, adalah suatu fenomena psikologis ketika seseorang akan menganggap penilaian yang sangat akurat terhadap deskripsi kepribadian yang dirancang khusus yang seolah dibuat khusus untuk mereka, padahal deskripsi itu sebenarnya sangat umum sehingga dapat berlaku untuk banyak orang. Efek ini menjelaskan mengapa banyak orang percaya dengan praktik-praktik tidak ilmiah seperti astrologi, ramalan, grafologi, pembacaan aura dan beberapa jenis tes kepribadian.

Fenomena yang terkait dengan efek Forer adalah validasi subjektif. Validasi subjektif terjadi ketika dua peristiwa yang acak dan tidak terkait dianggap berhubungan agar sesuai dengan keyakinan, harapan atau hipotesis seseorang. Contohnya, saat membaca kolom horoskop, pembaca secara aktif mencoba mengaitkan isi horoskop tersebut dengan aspek kepribadian mereka.

Jika ditelusuri lebih jauh, poin-poin dalam tes kepribadian dengan sentuhan Barnum Effect terdiri dari kalimat yang netral. Contohnya seperti: “Anda adalah orang yang supel dan ramah, namun di saat tertentu cenderung menutup diri dan ingin menghabiskan waktu sendirian.” Ini adalah contoh eksperimen Barnum Effect dalam dunia psikologi.

Penjelasan dari Forer sendiri atas teori Barnum effect-nya adalah bahwa ada kaitan erat dengan “human gullibility“, atau sifat manusia yang mudah tertipu. Manusia cenderung menerima klaim yang sesuai dengan keinginan mereka dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Dan klaim yang lebih berpeluang untuk mereka terima adalah jika klaim tersebut positif.

Sunk Cost Fallacy

Sunk Cost Fallacy adalah kecenderungan orang untuk terus bertahan dalam kondisi yang buruk walaupun kondisi di masa depan sulit membaik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut sudah menginvestasikan uang, tenaga, dan cinta. Kita akhirnya terdorong untuk melanjutkan usaha pada hal yang sebenarnya membuat kita tidak bahagia bahkan lebih buruk. Kejadian ini pasti sering kita temui.

Contoh paling umum Sunk Cost Fallacy adalah pasangan yang menolak putus atau cerai, walaupun berada dalam hubungan yang toxic dan abusive. Biasanya, mereka menolak untuk move on karena merasa sudah menghabiskan banyak waktu dan energi bersama. Hal lain yang menyebabkan pasangan ini menolak untuk pisah karena takut dianggap gagal.

Tentu saja, tidak ada orang yang ingin dicap kalau dia membuat keputusan yang buruk. Egonya yang besar malah membuat dirinya masuk dalam lubang kegelapan yang semakin dalam. Menariknya, semakin lama seseorang berada dalam kondisi yang buruk, maka akan semakin sulit orang itu untuk move on. Bisa saja, alasannya karena orang tersebut sudah menginvestasikan waktu yang begitu lama, jadi berharap keadaan akan membaik, yang tentu saja tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Sama halnya, ketika seorang investor menaruh saham pada Perusahaan yang kinerjanya buruk. Investor ini tentu saja berharap agar kinerja Perusahaan itu membaik, padahal kenyataan malah sebaliknya. Walaupun pilihan yang logis adalah cut loss, tapi merasa rugi. Jadi, investor itu tetap bertahan pada Perusahaan yang kondisinya buruk hingga akhirnya Perusahaan itu bangkrut.

Bias Ketersediaan Heuristik atau heuristic availability

Bias Ketersediaan Heuristik atau heuristic availability  adalah jenis bias kognitif yang biasanya dilakukan oleh seorang ketika melakukan penalaran dengan memperkirakan atau mengukur suatu informasi dengan berlebihan. Penalaran yang dilakukan dengan mental jalan pintas (mental shortcut) berdasarkan pada informasi yang sering mereka dapat atau yang terakhir mereka dapat dan yang paling mudah  dipikirkan untuk segera diambil keputusan.

Biasanya orang hanya percaya secara berlebihan pada informasi yang didapat dari lingkungan sekitarnya saja. Misalnya percaya jika siluman kolor ijo dapat diusir dengan daun kelor. Padahal kolor ijo belum tentu ada. Contoh lain, seorang perokok yang merasa bahwa merokok itu tidak mengganggu kesehatan. Ternyata sang perokok mendapatkan info bahwa mbahnya yang perokok berat baru meninggal pada usia 99 tahun. Padahal sudah jelas jika rokok dapat merusak kesehatan.

Contoh lainnya seseorang yang melihat berita di TV tentang pemecatan atas karyawan yang dilakukan perusahaan.  Setelah melihat berita tersebut dia merasa kejadian serupa bisa terjadi segera kepada dirinya, dia mulai tidur tidak nyenyak karena terus memikirkan hal tersebut, dan esoknya dia datang ke kantor dengan perasaan yang tidak enak.

Bandwagon Effect atau efek ikut-ikutan

Bandwagon effect atau efek ikut-ikutan adalah kecenderungan individu untuk memperoleh gaya, perilaku, atau sikap tertentu karena semua orang melakukannya. Misalnya di suatu kota sedang ngetren dengan fashion celana dengan resleting setengah terbuka. Karena banyak yang memakai celana tersebut, banyak individu yang terpengaruh dan ikut-ikutan. Contoh lain adalah tren batu akik. Karena banyak yang make akik, individu yang tadinya tidak tertatarik jadi tertarik dengan batu akik.

Meski sering kali tidak kita sadari, kita suka mengikuti arus. Ketika massa mulai memilih seorang pemenang atau seorang yang difavoritkan, ketika itulah otak kita secara individual mulai menutup dan masuk ke dalam sejenis “groupthink” atau hivemind-mentality. Namun hal ini tidak mesti melibatkan kelompok massa yang besar atau seluruh negeri saja. Bandwagon Effect bisa saja terjadi dalam sebuah kelompok-kelompok kecil, seperti keluarga atau bahkan sekelompok kecil pekerja kantor.

Efek bandwagon adalah apa yang sering menyebabkan tingkah laku, norma-norma sosial, dan meme berkembang biak di antara kelompok-kelompok individual, tidak peduli apapun bukti-bukti dan motif-motif pendukungnya. Inilah sebabnya mengapa poling pendapat sering kali menyesatkan, karena poling tersebut bisa mengarahkan pandangan-pandangan individual sesuai arus. Kebanyakan dari bias serupa ini berhubungan dengan hasrat dari dalam diri kita kita untuk menyesuaikan diri dan patuh.

Blind-spot bias 

Blind spot bias adalah salah satu bias kognitif yang menganggap bahwa orang lain telah melakukan tindakan/pemikiran bias daripada dirinya sendiri. Jadi blind spot bias adalah satu bias yang menganggap orang lain lebih bias. 

Pada satu eksperimen dari 600 penduduk Amerika, lebih dari 85% percaya bahwa mereka sedikit melakukan bias dari kebanyakan orang Amerika lainnya.  Hanya satu dari mereka yang beranggapan bahwa dia lebih banyak melakukan bias daripada yang lainnya.  Bias model ini kelihatannya sangat relevan dengan kondisi mutakhir di jaman sosial media, satu kubu merasa lebih objektif dibanding dengan kubu disebrangnya, bahwa satu kubu merasa tindakan dan fikirannya didukung dengan pengetahuan dan literatur yang objektif dibandingkan dengan yang lainnya.

Choice-supportive Bias (Post-Purchase Rationalization)

Choice Supportive Bias adalah kecenderungan seseorang untuk memberikan nilai positif pada kepunyaan yang mereka pilih atau yang dimilikinya. Ketika orang memilih sesuatu, orang cenderung memberi nilai positif terhadap pilihannya tersebut. Contohnya, kita telah membeli Smartphone dengan merk tertentu. Kita akan merasa smartphone pilihan tersebut sudah sangat sempurna untuk kita. Padahal smartphone pilihan kita itu bisa jadi memiliki banyak kekurangan.

Ingat waktu kita membeli sesuatu yang sama sekali tidak penting, barang yang cacat, atau kita telah mengeluarkan uang terlalu banyak untuk itu, dan kemudian kita merasionalisasi pembelian tersebut sedemikian rupa hingga kita yakin bahwa itu adalah sebuah ide yang bagus? Ya, itulah yang disebut rasionalisasi pasca-beli sedang beraksi, sejenis mekanisme built-in yang membuat kita merasa lebih baik setelah kita membuat sebuah keputusan yang konyol, khususnya mengenai pengeluaran uang. Juga dikenal sebagai Buyer’s Stockholm Syndrome, ini adalah sebuah cara yang secara tidak sadar membenarkan perbuatan kita membeli sesuatu, khususnya sesutau yang mahal. Para psikolog sosial mengatakan hal ini berasal dari prinsip komitmen, hasrat psikologis kita untuk tetap konsisten dan menghindari keadaan disonansi kognitif.

Clustering Illusion

Clustering Illusion adalah kecenderungan manusia untuk melihat pola dalam suatu kejadian yang acak. Ilusi ini disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk meramalkan sesuatu yang berubah-ubah hanya dengan melihat sedikit sampel data yang acak atau semi-acak. Misalnya seorang penjudi yang merasa bisa meprediksi pola-pola yang akan terjadi dalam permainan dadu.

Confirmation Bias atau bias konfirmasi

Confirmation Bias atau bias konfirmasi adalah kecenderungan orang untuk mendukung informasi yang menegaskan keyakinan atau hipotesis mereka. Sebagai contoh, kita suka setuju dengan orang-orang yang sependapat dengan kita. Itulah sebabnya kita hanya mengunjungi website yang mengekspresikan pandangan politik kita, dan mengapa kita cenderung lebih suka bergaul dengan orang-orang yang mempunyai pandangan dan selera yang sama dengan kita. Kita cenderung merasa terganggu oleh individu-individu, kelompok-kelompok, dan sumber-sumber berita yang membuat kita tidak nyaman dan tidak pede tentang pandangan-pandangan kita.

Conservatism Bias

Conservatism Bias terjadi ketika orang lebih percaya theory lama ketimbang theory baru. Contohnya, dulu orang percaya teori jika bumi itu datar. Namun setelah adanya perkembangan sains, ternyata bumi itu bulat. Namun waktu itu tidak semua orang langsung mempercayai teori baru yang menyatakan bahwa bumi itu bulat. Gampangnya, orang yang sudah percaya pada suatu teori akan sulit jika harus menerima teori baru yang bertentangan.

Bias Kelompok (Ingroup Bias)

Intergroup bias sering dikenal dengan istilah ingroup bias atau ingroup favoritism. Ingroup Bias adalah kecenderungan manusia untuk lebih membantu dan memandang lebih positif terhadap anggota kelompok mereka sendiri dibandingkan anggota kelompok luar.

Bias ingroup adalah sebuah manifestasi dari kecenderungan sifat-sifat kesukuan kita. Dan anehnya, kebanyakan dari efek ini boleh jadi berhubungan dengan oxytocin, yang sering disebut “molekul cinta.” Neurotransmitter ini, meski membantu kita untuk memperkuat hubungan dengan orang-orang yang ada dalam ingroup kita, namun bisa menjadi penyebab kerenggangan hubungan kita dengan orang yang berada di luar kelompok kita. Hal ini membuat kita selalu curiga, takut, dan bahkan melecehkan terhadap orang lain. Pada akhirnya, bias ingroup ini bisa membuat kita menilai berlebihan terhadap kemampuan dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok kita saja dan mengabaikan orang-orang yang berada di luar kelompok kita.

Contoh bias kelompok ketika orang Indonesia akan menganggap negaranya lebih baik dari Malaysia, dan sebaliknya, orang Malaysia beranggapan negaranya lebih baik dari Indonesia. Ini yang menjelaskan kenapa pendukung Barcelona akan menghina Madrid, dan sebaliknya, Madridistas akan menghujat Barcelona. In-group bias membuat pendukung pilkada saling mengolok-olok meski yang dihina belum tentu lebih baik dari yang menghina.


Picture: instagram.com

Posting Komentar untuk "Bias Kognitif"